SELAMAT DATANG
di situs santri slenge'an

Jumat, 03 Desember 2010

Hukum mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya Menurut Dr. Abdurrahman al-Bag

Menurut Dr. Abdurrahman al-Baghdadi (Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 74-76) dan Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki (Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut. Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ ’) — dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya — yaitu mubah. Kaidah syar ’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan: Al-ashlu fi al-asy-yâ ’ al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim “Hukum asal benda- benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. ” (Dr. Abdurrahman al- Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 76). Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar ’iyah menetapkan: Al-wasilah ila al-haram haram “Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 86).

TAUBAT

dihamparan kain yang lusuh jiwa tertunduk
dan bersimpuh memohon ampun dari yang
maha pengampun atas segala dosa-dosa
yang mencemari raga yang semakin renta
kami…… hanyalah setitik debu yang hina yang rapuh dan tak lupat dari hilaf serta
dosa tersadar didalam gelisah setelah
begitu jauh melangkah setelah begitu jauh
melangkah setelah terlalu lama terlena
akan kenikmatan [...]

Hukum Zakat Profesi

Zakat profesi dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta). (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al- Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17). Zakat profesi menurut penggagasnya didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. (Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95). Menurut al-Qaradhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah yang wajib dikeluarkan 2,5%. Zakat profesi dikeluarkan langsung saat menerima atau setelah diperhitungkan selama kurun waktu tertentu. Misal jika seseorang gajinya Rp500.000/bulan, dia dapat mengeluarkan langsung zakatnya 2,5% setelah gajian tiap bulan. Atau membayar satu kali tiap tahun sebesar 12 x 2,5% x Rp500.000. (Didin Hafidhuddin, ibid, hal. 104). Landasan fikih (at-takyif al-fiqhi) zakat profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al- mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud). (Yusuf Al- Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az- Zuhaili, ibid., II/866). Menurut pentarjihan kami, zakat profesi tidak mempunyai dalil yang kuat sehingga hukumnya tidak wajib. Alasan kami : Pertama, dalil utama dari zakat profesi adalah ijtihad sahabat mengenai al-maal al-mustafaad yang tidak mensyaratkan haul. Padahal ijtihad sahabat (mazhab al-shahabi) bukanlah dalil syariah yang kuat (mu’tabar). (Taqiyuddin an-Nabhani, al-Syakhshiyah al-Islamiyah, III/418). Kedua, pendapat yang lebih kuat (rajih) mengenai al-maal al-mustafaad adalah pendapat jumhur ulama, yaitu harta tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya, hingga memenuhi syarat berlalunya haul. Inilah pendapat sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Juga pendapat imam mazhab yang empat. (Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal.19; Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
II/866). Ketiga, tidak tepat penilaian Al- Qaradhawi bahwa hadis tentang haul adalah hadis lemah (dhaif). Al- Qaradhawi sebenarnya mengikuti pendapat Imam Ibnu Hazm yang melemahkan hadis haul dari jalur Ali bin Abi Thalib RA, karena ada perawi bernama Jarir bin Hazim yang dinilai lemah. (Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/494; Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VI/70). Padahal Ibnu Hazm telah meralat penilaiannya, dan lalu mengakui bahwa Jarir bin Hazim adalah perawi hadis yang sahih. (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VI/74). Kesimpulannya, zakat profesi tidak wajib dalam Islam karena dalil-dalilnya sangat lemah. Maka uang hasil profesi tidak sah dikeluarkan zakatnya saat menerima, tapi wajib digabungkan lebih dulu dengan uang yang sudah dimiliki sebelumnya. Zakat baru dikeluarkan setelah uang gabungan itu mencapai nishab dan berlalu haul atasnya. (Ali as- Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al- Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 523). Wallahu a’lam.

Kamis, 02 Desember 2010

HUKUM MENJATUHKAN TALAK DALAM KEADAAN MARAH

Menurut Wahbah Zuhaili marah (ghadhab) ada dua. Pertama, marah biasa yang tak sampai menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga orang masih menyadari ucapan atau tindakannya. Kedua, marah yang sangat yang menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga seseorang tak menyadari lagi ucapan atau tindakannya, atau marah sedemikian rupa sehingga orang mengalami kekacauan dalam ucapan dan tindakannya. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343). Para fuqaha sepakat jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah yang sangat (kategori kedua), talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf karena hilang akalnya (za`il al-aql), seperti orang tidur atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum. Dalilnya sabda Nabi SAW, “Diangkat pena (taklif) dari umatku tiga golongan : anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga waras. ” (HR Abu Dawud no 4398). (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/215; Sayyid Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, 4/5; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343; Al-Mausu ’ah Al- Fiqhiyah, 29/9). Namun fuqaha berbeda pendapat mengenai talak yang diucapkan dalam keadaan marah biasa (thalaq al- ghadbaan). Pertama, menurut ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Hambali talak seperti itu tak jatuh. Kedua, menurut ulama mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi ’i, talaknya jatuh. (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al- Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 19; Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan fi Hukm Thalaq al-Ghadban, hal. 61). Pendapat pertama antara lain berdalil dengan hadits ‘A`isyah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Tak ada talak dan pembebasan budak dalam keadaan marah (laa thalaqa wa laa ‘ataqa fi ighlaq).” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah). (Musthofa Al- ‘Adawi, Ahkam Al-Thalaq fi al-Syari ’ah al-Islamiyah, hal. 61). Pendapat kedua antara lain berdalil dengan riwayat Mujahid, bahwa Ibnu Abbas RA didatangi seorang lelaki yang berkata,”Saya telah menjatuhkan talak tiga kali pada isteriku dalam keadaan marah.” Ibnu Abbas menjawab, ”Aku tak bisa menghalalkan untukmu apa yang diharamkan Allah. Kamu telah mendurhakai Allah dan isterimu telah haram bagimu.” (HR Daruquthni, 4/34). (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 24). Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, yakni talak oleh suami dalam keadaan marah tetap jatuh talaknya. Alasannya, hadits ‘A`isyah RA meski menyebut talak orang yang marah tak jatuh, tapi yang dimaksud sebenarnya bukan sekedar marah (marah biasa), melainkan marah yang sangat. Imam Syaukani menukilkan perkataan Ibnu Sayyid, bahwa kalau marah dalam hadits itu diartikan marah biasa, tentu tidak tepat. Sebab mana ada
suami yang menjatuhkan talak tanpa marah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1335). Kesimpulannya, suami yang menjatuhkan talak dalam keadaan marah dianggap tetap jatuh talaknya. Sebab kondisi marah tidak mempengaruhi keabsahan tasharruf (tindakan hukum) yang dilakukannya, termasuk mengucapkan talak. Kecuali jika kemarahannya mencapai derajat marah yang sangat, maka talaknya tidak jatuh. Wallahu a’lam.

Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina’ / at- taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh al-Ustadz Muhammad al-Marzuq Bin Abdul Mu’min al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi ’i lin-Niza’ bab Fi Bayani Tahrimi al-Ghina’ wa Tahrim Istima’ Lahu (Musik. http:// www.ashifnet.tripod.com),/ juga oleh Dr. Abdurrahman al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (hal. 27-38), dan Syaikh Muhammad asy- Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas (hal. 97-101): A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian: a. Berdasarkan firman Allah: “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6) Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah Qs. an- Najm [53]: 59-61; dan Qs. al-Isrâ’ [17]: 64 (Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa al-Ghina Haram), hal. 20-22). b. Hadits Abu Malik Al-Asy ’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590]. c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah ) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya. ” Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih ]. d. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al- Baihaqi, hadits mauquf]. e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya. ]. f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan). ” B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian: a. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu
dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al- Mâ’idah [5]: 87). b. Hadits dari Nafi ’ ra, katanya: Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw. ” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi]. c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata: Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka
berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda: “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra]. d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda: “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka
pada permainan.” [HR. Bukhari]. e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi ’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata: “Aku pernah bersyi ’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw) ” [HR. Muslim, juz II, hal. 485]. C. Pandangan Penulis Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu. Imam asy-Syafi ’i mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Imam asy-Syaukani , Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, hal. 275). Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih: Al- ‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin — awlâ min ihmali ahadihima “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya. ” (Syaikh Dr. Muhammad Husain Abdullah , Al-Wadhih fi Ushul Al- Fiqh, hal. 390). Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan: Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal “Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (Syaikh Taqiyuddin an- Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah , juz 1, hal. 239). Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara ’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Dr. Abdurrahman al- Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 63-64; Syaikh Muhammad asy- Syuwaiki , Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 102-103). Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi ’il), atau sarana (asy-yâ ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara ’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat- sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Dr. Abdurrahman al- Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 64-65; Syaikh Muhammad asy- Syuwaiki , Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 103).

objek ilmu fiqh & pembagianhukum fiqh

Objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditetapkan hukumnya. Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama usul fiqh, yang menjadi objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan*mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib (misal: melaksanakan shalat dan puasa), sunah (misal: bersedekah kepada orang yang membutuhkannya), mubah (misal: melangsungkan berbagai transaksi yang dibolehkan syara ’), haram (misal: berzina, mencuri, dan membunuh seseorang tanpa sebab yang dibenarkan
syara ’) , atau makruh (misal: menjatuhkan talak tanpa sebab). Di samping itu, bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan dengan masalah amaliyah (praktek). Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupannya sehari-hari, sekaligus untuk mengetahui nilai dari perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut. Pembagian Hukum Fiqh Ulama fiqh membagi hukum fiqh dengan pembagian sebagai berikut. . Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdlah (khusus), yaitu hukum yang mengatur persoalan ibadah manusia dengan Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. . Hukum yang berkaitan dengan masalah muamalah, yaitu persoalan hubungan sesama manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan material dan hak masing-masing, seperti transaksi jual beli, perserikatan dagang dan sewa-menyewa. . Hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga (al-ahwal asy- syakhsiyyah), seperti nikah, talak, rujuk, iddah, nasab dan nafkah. . Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana (jinayah atau jarimah, dan ‘uqubah), seperti zina, pencurian, perampokan,pembunuhan,
pemukulan dan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap anggota tubuh serta harta lainnya. . Hukum yang berkaitan dengan persoalan peradilan dan penyelesaian perkara hak dan kewajiban sesama manusia (ahkam al-qadla). . Hukum yang berkaitan dengan masalah pemerintahan dan yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat (al-ahkam as-sultaniyyah atau siyasah syar ’iyyah). . Hukum yang mengatur hubungan antarnegara dalam keadaan perang dan damai (al-ahkam ad- dauliyyah). . Hukum yang berkaitan dengan persoalan akhlak (al-adab). Keseluruhan hukum fiqh yang disebutkan di atas tidak hanya terkait dengan masalah keduniaan tetapi juga mengandung unsur spiritual atau makna keakhiratan. Artinya, hukum apa pun yang dilakukan seseorang, perhitungannya meliputi perhitungan duniawi dan perhitungan ukhrawi berupa pahala atau dosa di akhirat. Karenanya, hukum fiqh berbeda dengan hukum positif. Hukum dalam Islam tidak memisahkan antara persoalan dunia dan persoalan akhirat, walaupun keduanya dapat dibedakan. Kategori Kategori: : Fiqh Fiqh « Terlama | Mail | Newer »

Rabu, 17 November 2010

Siapakah sebenarnya kau, duhai
insan Tuhan Kau menelusup di
seluruh belahan diriku
Bersembunyi di setiap sudut
persendianku Berenang lincah
bersama aliran darahku Seakan...
Ketika kamu dan aku tiba di
sini… diantara ruas jarimu; jariku tertawa, termenung
bersama waktu yang
berlangsung Kau tersenyum
padaku. Kita menunggu pagi
yang pasti; esok yang cerah
dan kebahagiaan di hari nanti Kita terikat akar dan tanah
menyatu dalam kekuatan satu
dan tak pernah padam

Selasa, 16 November 2010

katakanlah Wahai Subuh,,, Engkau menyaksikan bagaimana
tubuhku memprotes jiwaku yang rindu
bangun Tapi jiwaku tegas karena
kebaikannya, dan memerintahkan tubuhku
untuk bangun Dia memang bangun, tapi
tetap memprotes. Dia melunglaikan diri, menolak membukakan mata, dan tetap
menjaga hidung ke arah harumnya
peraduan. Tapi, Jika jiwaku tetap tegas,
tubuhku akan patuh. Tuhan, tegaskanlah
jiwaku, Amien...
Jika semua harta adalah racun maka
zakatlah penawarnya.. jika seluruh umur
adalah dosa maka taqwa dan taubat
adalah obatnya...
Tiada yang lebih mulia selain memaafkan..tiada yang lebih nikmat selain
dimaafkan dan tiada yang lebih indah
selain bermaaf-maafan... Di Hari Raya Agung ini,, aku ucapkan mohon maaf lahir batin untuk keluarga,
teman dan sahabat2 ku
semuanya....

CINTA,,

Cinta bukan mengajarkan kita lemah, tetapi
membangkitkan kekuatan.
Cinta bukan mengajar menghinakan diri,
tetapi menghembuskan kegagahan.
Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi
membangkitkan semangat. by. HAMKA

LOVE..

Love is a force, which is able to change
the thorns into roses Change the vinegar
into wine, the poor become profitable
Change, Change sad to be jolly well
ill be so generous hunks Change, Change the cage so the garden palace prison so unfortunate to be goodwill
Change....

CINTA..

Cinta adalah kekuatan, yg mampu mengubah
duri menjadi mawar
Mengubah cuka menjadi anggur,
Mengubah malang menjadi untung
Mengubah sedih menjadi riang
Mengubah sakit jadi sehat Mengubah bakhil jadi dermawan
Mengubah kandang jadi taman
Mengubah penjara jadi istana
Mengubah musibah jadi muhibah
by. JALALUDDIN RUMI

Minggu, 14 November 2010

rasa ini..

asaku..rasaku..
melayang tanpa batas
cuma kataku
disela sesak dada...
'rindu betapa senyummu'

Jumat, 12 November 2010

Kamis, 11 November 2010

sepatah kata

jadilah orang yang BERILMU AMALIYAH DAN BERAMAL ILMIYAH